Kamis, 24 Februari 2011

Dibalik Senyuman dan Rayuan Perempuan itu...

             Istilah-istilah "Kupu-kupu malam", Geisha, PSK, Wanita panggilan, dan Natasha(sebutan bagi pkerja prostitusi di Eropa) mungkin sudah sering melewati kedua telinga kita khususnya jika kita mendengar berita ataupun melihat langsung wanita- wanita dengan sebutan diatas berada di jalan, bar-bar ataupun di rumah-rumah bordil. Dalam era sekarang ini gaya hidup bebas sangat erat dengan paradigma seks bebas. Kasus prostitusi terkadang menjadi hal yang tabu untuk dibahas secara mendalam, namun apakah ketabuan itu akan tetap ada apabila terkupas cerita sebenarnya dari awal mula perdagangan seks ini terjadi ? Bahwa telah terjadi penipuan dan penyiksaan fisik dan batin yang dialami oleh perempuan-perempuan tersebut. Ironinya lagi, penderitaan perempuan-perempuan ini dijadikan suatu sistem, sebuah siklus perdangan dengan jalur di negara-negara belahan dunia oleh pelaku perdangan yang keji, tak berkeprimanusiaan.

             Dalam tiga dasawarsa terakhir, dunia telah menyaksikan empat gelombang trafiking untuk eksploitasi seksual ini. Victor malarek dalam bukunya yang berjudul “NATASHA” menuliskan bahwa Gelombang pertama perempuan korban trafiking berasal dari Asia Tenggara pada tahun 1970-an dan sebagian besar terdiri atas perempuan Thailand dan Filifina. Gelombang kedua tiba di awal 1980-an dan terdiri atas perempuan Afrika, terutama Ghana dan Nigeria. Gelombang ketiga, dari Amerika Latin, menyusul tak lama kemudian perempuan-perempuan dari Kolombia, Brasil, dan Replubik Dominika. Jadi, dunia bukannya tidak tahu bahwa banyak perempuan yang ditipu, diculik, dijual dan diperkosa. Namun kegiatan kotor itu makin marak daripada sebelumnya saat munculnya gelombang keempat, trafiking terbaru berasal dari Eropa timur dan Tengah. Gelombang itu dinamai “the fourth wave” dan kecepatan perkembangan sungguh mengejutkan. Satu dasawarsa lalu perempuan Eropa Timur dan eks-Soviet belum kelihatan sama sekali, namun sekarang mereka lebih daripada 25 persen dari perdagangan perempuan. Seiring pembubarannya di tahun 1991, demokrasi melanda negeri-negeri adidaya yang dulu tergabung dalam Uni Soviet. Saat itu merupakan masa peralihan dan perubahan besar dimana relitas pun hadir. Hukum dan peraturan dikotori oleh korupsi, kerakusan dan penyuapan. Dengan segera, keadaan ekonomi negara-negara baru itu pun anjlok, kekacauan pun terjadi. Puluhan juta orang terlunta-lunta. Mereka dipaksa bertahan hidup semampu mereka. Tak butuh waktu lama hingga hilangnya kendali sosial, sehingga penjahat-penjahat bermunculan dan segera menemukan mangsanya yang baru : perempuan cantik, namun putus asa, berpendidikan, bertatakrama, namun tanpa masa depan. Mereka lah yang menjadi tumpuan disaat keluarga mereka terpuruk dalam ekonomi, ketika ayah mereka mencari pelarian dengan meminum alkohol karena stres, ibu mereka sakit-sakitan karena terpuruk kondisi keluarga yang jatuh drastis, adik-adik yang terancam putus sekolah. Lalu mereka mulai mencari pekerjan apapun asal bisa menyambung hidup mereka. Berbagai iklan yang dipasang di koran, internet, di dinding-dinding gedung menjajikan pekerjaan sebagai pengasuh anak, pembantu rumah tangga di Malaysia, pelayan di Singapura, buruh pabrik di Arab Saudi. Mata mereka berbinar, senyum sumringah pun terpancar, sebungkah harapan akan gaji besar hasil bekerja di luar negeri memenuhi otak mereka. Tak akan ada lagi ayah nya stress, Ibu nya sakit, adik-adiknya putus sekolah. Bagi mereka ini adalah kesempatan emas, dan tanpa banyak pertimbangan mereka langsung melamar pekerjaan-pekerjaan itu, dan mendapati diri mereka terjebak dalam lingkaran kenistaan, dan penderitaan di kemudian hari.
               Para calon-calon kupu-kupu malam, PSK, Natasha ini dikirim ke seluruh penjuru di dunia. Mereka dikumpulkan menjadi rombongan besar, dan diboyong ke tempat tinggal baru mereka, untuk mengisi rumah-rumah bordil di Korea Selatan, Bosnia, dan Jepang. Mereka meramaikan jalan-jalan daerah lampu merah di Austria, Italia, Belgia, Belanda. Mereka bekerja tanpa busana di panti pijat di Kanada dan Inggris. Mereka dikurung sebagai budak seks dalam apartemen kumuh di Uni Emirat Arab, Jerman, Israel, dan Yunani. Dalam make up tebal, pakaian seronok, sepatu hak tinggi, mereka berjalan berlenggak-lenggok untuk menarik perhatian para lelaki yang hidung belang. Mereka tersenyum, mengedip, berpose, merayu setiap lelaki agar mereka mendapat pelanggan setiap malamnya. Tiap hari, perempuan-perempuan ini dipaksa melayani sepuluh sampa tiga puluh laki-laki dalam semalam. Uang yang mereka dapat langsung diambil oleh “pemilik” mereka. Mereka hidup dalam kondisi yang menyedihkan, sering disiksa, diancam. Apabila melawan dihukum berat, dan bila menolak adakalanya dicederai atau bahkan sampai dibunuh. Jumlah korban trafiking atau perdagangan wanita sungguh mengejutkan. Contohya saja di AS, dalam laporan tahun 2003, Departemen Luar negeri menyatakan tak ada negara yang bebas dari trafiking dan memperkirakan kurang-lebih 800 ribu sampai 900 ribu orang diperdagangkan melintasi batas-batas negara di seantero dunia. Laporan itu juga menyatakan bahwa trafiking menyengsarakan perempuan dan anak-anak, membuat mereka mengalami pemerkosaan, siksaan, HIV/AIDS dan berbagai penyakit seks menular. Pasar perempuan internasional bukanlah hal baru, perempuan asia sudah bertahun-tahun jadi barang dagang utama. Banyak sekali laki-laki yang mengunjungi Bangkok, Manila, Indonesia untuk wisata seks. Kini kegiatan kotor itu kian merambah ke negara Eropa, publikasi permasalahannya besar, namun mengapa pemerintahan negara dan kita pun masih kecolongan atas masalah trafiking ini?

                       Kesadaran dan kepedulian masyarakat sangat diperlukan untuk mengatasi secara perlahan-lahan kasus trafiking ini. Mungkin dengan bertemu atau mendengar langsung kisahnya dari perempuan yang bersangkutan, adalah cara ampuh untuk membangkitkan kepedulian dan mendorong kepedulian kita. Marika, gadis rusia bertubuh jangkung dan berambut pirang mengalami penipuan dalam trafiking. Ibunya sakit dan ayahnya pemabuk. Dua adik perempuannya tak terurus. Tawaran pekerjaan sebagai pelayan restoran di Ukraina datang dan diterimanya. Marika dibawa oleh perekrut kerja itu, dia diterbangkan ke Mesir. Setelah melakukan perjalanan jauh melewati padang pasir, marika sampai di rumah terpencil dan dimasukkan ke kamar kosong. Mereka tidak ditawari makan atau mandi, tidur pun hanya beralaskan tanah. Pagi berikutnya perekrut kerja Marika datang dan menyuruhnya membuka baju agar dia bisa melihat Marika. Sungguh memalukan. Setelah itu Marika dipindahkan ke apartemen baru, disana dia bertemu dengan perempuan-perempuan lainnya yang "berstatus" sama. Seorang laki-laki besar bernama Avi menghampiri Marika dan perempuan lainnya, mereka disuruh mandi. Avi mengawasi mereka dan ketika mereka sedang mengeringkan badan Avi masuk dan menyuruh mereka memakai pakaian dalam murahan yang tembus pandang. Gadis-gadis itu digiring ke ruang utama dan mereka diberitahu bahwa mereka sudah dibeli oleh Avi. Mereka disuruh bekerja untuk Avi dengan cara melacurkan diri. Dan menjelang malam hari itu, untuk pertama kalinya Marika merasakan bagaimana menjadi pelacur. Kisah serupa dialami Sophia, gadis Serbia korban trafiking yang diculik sewaktu sedang berjalan dijalanan kampungnya. Dua laki-laki membawa pisau memaksanya masuk mobil. Sophia pikir ia akan diperkosa dan dibunuh, namun ternyata ia dibawa ke suatu penyebrangan sungai naik perahu lalu menuju sebuah kota di pegunungan. Setiba di bangunan tempat ia ditempatkan, Sophia bertemu banyak gadis lainnya. Mereka semua kelihatan ketakutan. Mereka dilarang saling berbicara. Laki-laki kejam dan jelek bolak-balik masuk dan menyeret para gadis ke kamar. Laki-laki itu memerkosa setiap gadis satu per satu di hadapan gadis lainnya sambil berteriak kepada mereka, menyuruh bergerak seperti ini atau itu…...pura-pura menikmati….mengerang…... sungguh memuakkan. Tiap gadis dianiaya secara fisik dan emosional. Mereka yang melawan dipukuli. Jika tak menurut, mereka dikunci dalam ruangan gelap berisi tikus dan tak diberi makan atau minuman selama tiga hari. Pernah satu gadis menolak untuk melakukan seks anal, dan malamya si mucikari membawa lima laki-laki. Mereka menindihnya dan masing-masing melakukan seks anal terhadapnya di hadapan Sophia dan gadis-gadis lainnya. Dia menjerit-jerit dan para gadis menangis. Ada gadis Ukraina yang juga melawan. Mucikari memaksanya melakukan berbagai hal dan dia menolak. Mereka memukuli dia, menyundut sekujur lengannya dengan rokok. Dia masih teguh pendirian. Para mucikari terus memaksanya, mereka menonjoknya, menyepaknya berkali-kali. Lalu gadis Ukraina itu roboh tak sadarkan diri. Dia tergeletak dan mucikari itu masih saja memerkosanya. Ketika mereka selesai, gadis itu tak bergerak lagi. Tak terlihat kekhawatiran di wajah mucikari itu. Mereka hanya menggotong si gadis keluar. Beberapa hari berikutnya teman dari gadis ukraina itu bertanya pada mucikari mengenai temannya. Si mucikari langsung manjambak rambutnya dan menyeretnya keluar ke hutan tak jauh dari bangunan tempat mereka. Gadis itu diberi sekop dan disuruh menggali kuburannya sendiri, gadis itu tercengang. Mucikari memberitahunya bahwa gundukan disampingnya itu adalah kuburan temannya dari Ukraina yang melawan kemarin. Begitulah akhir yang naas bagi perempuan korban traffiking. Siapa yang melawan diberi siksaan, dan siapa yang masih berpegang teguh untuk mempertahankan harga dirinya, maut adalah ganjaran untuk mereka.

Hitungan dasawarsa adalah waktu yang lama untuk berlangsungnya kegiatan trafiking. Sejumlah lembaga kemasyarakatan memang telah angkat bicara, korban-korban berhasil dipulangkan ke daerah asalnya. Namun tidak menyelamatkan mereka dari aniaya yang mereka dapat. Para aktifis-aktifis sosial bersura, membuka forum, menyerukan “STOP TRAFFICKING!”. Peneliti-peneliti cerdas pun menelaah sebab dan akibat trafiking. Tapi masalah trafiking tetap ada dan makin parah saja. Pemberantasan tindak kejahatan trafiking harus diserang dengan gencar dan habis-habisan. Kita perlu tindakan, bukan kata-kata dari para pejabat-pejabat negara diatas meja parlemen. Kita harus memburu mereka sang pelaku trafiking, mengusut sampai ke sumber-sumber nya lalu adili mereka atas kejahatan yang telah mereka perbuat Sungguh mengherankan di negara yang dikatakan sebagai “negara hukum”, menindak tegas pelaku trafiking masih tidak bisa, atau sedikitnya menjamin pertanggung jawaban si pelaku atas perbuatannya terhadap gadis yang merupakan anggota warga negaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar