Kamis, 24 Februari 2011

Lintas Tenggara Dataran Tinggi Gayo Lues, Leuser..

ada mawas.. itu di pohon itu”.. kami semua sontak bergegas menuju pohon yang ditunjuk, saya mendongak keatas mencari-cari orang utan itu. Benar saja, bulunya cokelat terang dan badannya termasuk kecil untuk ukuran standar orang utan. Anak orang utan tepatnya. Dia bergelayutan pelan dari tangkai ke tangkai nun jauh diatas pohon. Kami mesti mendongak untuk bisa melihatnya. Ini satu ciri khas pertama dari leuser yang aku lihat. Diam-diam aku membatin, apalagi gerangan yang akan kami temui saat di dalam hutan nanti? aku tambah bersemangat.

Rasanya seperti setengah sadar saja, saya sudah berada di Green Sinebuk, atau biasa disebut pondok Mr. Jali, the big boss dari guide-guide yang biasa mengantar pendaki ke Leuser. Di Green Sinebuk terdapat bungalow (rumah kayu) yang dibangun untuk tempat istirahat pendaki-pendaki sebelum mendaki ataupun sesudah mendaki Leuser. Tanaman-tanaman disusun di kiri dan kanan sampai membentuk jalan setapak berbatu. Suara deras sungai terdengar di sebelah kiri ku. Hulu sungai itu berada diatas gunung, namun bukan dari sungai Alas. Semuanya terbuat dari kayu, kecuali kamar mandi yang bersemen dan beratap asbes. Membelok ke kanan dari Green Sinebuk, tanjakan pertama dimulailah.

Pada hari pertama sampai dengan hari keempat, puncak Leuser masih menyimpan teka-teki yang misterius. Umumnya para pendaki baru sampai kesana pada hari kesembilan. Menjaga keadaan psikologis agar tetap stabil adalah hal yang penting dalam suatu pendakian. Medan yang kami lalui memang cukup berat pada hari pertama dan kedua. Camp pertama yang tim singgahi adalah Tobacco Hut, atau ladang tembakau milik penduduk sekitar, tempatnya luas dan berumput kering. Daun-daun tembakau yang sudah dipetiki, ditaruh didalam saung penyimpanannya. Setelah Tobacco Hut, tim mulai memasuki hutan belantara Gunung Leuser yang rapat dan lembab. Hujan nampaknya ingin bersahabat, ia setia menemani perjalanan sampai hari kedelapan, meskipun konsekuensinya beban terasa berat, selain karena muatan carrier kami masing-masing belum berkurang, kami harus hati-hati melewati tanjakan-tanjakan lebar dan licin, yang mengingatkanku pada jalur Bremi, di Gunung Argopuro.

Memasuki ketinggian 2384 mdpl pada hari ketiga, setelah melewati camp Bivak 1, Pucuk Angkasan, Kayu manis satu, dua dan tiga,  Sekeliling kami sudah berubah menjadi pepohonan lumut. Ini sudah masuk wilayah peralihan dari montana ke alpin, vegetasinya sudah lumut dan cantigi. Pemandangan disekeliling semua berlumut, terasa lembab dan dingin. Mungkin ini adalah salah satu indikator yang mencirikan bahwa hutan di pegunungan leuser ini masih virgin. Jalanannya pun sempit dan masih banyak kayu-kayu yang membuat kaki-kaki tersangkut. Hutan lumut semakin mendominasi, terutama begitu tim menuju camp Pepanji. Batang-batang pepohonan marak melintang, membuat kami harus berjongkok, membungkuk sampai merayap-rayap melewatinya. Tak jarang kaki-kaki ini tersandung dan kepala terbentur batang pohon yang pendek. Rasanya kesal bukan main, tapi tidak bisa menyalahkan batang pohon itu. Selama di perjalanan, pikiran ini terus melayang mengkhayalkan banyak hal. Mungkin inilah euforia yang dialami pendaki saat melewati hutan saja dalam waktu yang panjang. Pikiranku melalang buana kemana sesukaku. Tak terelakkan, ada rasa bangga pada diriku karena sampai pada hari ini tak sedikitpun rasa kesal, tak sabar, pesimis meracuniku.

Kami keluar dari hutan lumut pada hari kelima, menuju padang rumput yang terbuka. Tidak seperti kebanyakan padang rumput di gunung-gunung jawa, bebatuan disini berjenis kapur. Salah satu keunikan yang ada di padang rumput ini adalah terdapatnya tumpukan batu-batu kecil yang membentuk semacam gapura kecil. Batu-batu ini sengaja disusun oleh para guide, untuk memberi simbol dari banyaknya orang yang sudah pernah ke leuser. Selain budaya menyusun batu, bang udin memperkenalkan pada kerajinan tangan bernama “Simpai”, anyaman yang terbuat dari rotan, dibentuk menjadi gelang atau cincin. Kerajinan tangan ini juga salah satu ciri khas dalam budaya lokal masyarakat Gayo Lues, yang mendiami desa Keudah wilayah Taman Nasional Gunung Leuser.

Suku asli penduduk Aceh terbagi menjadi lima, yaitu Gayo Lues, Singkil, Aceh dan Segeli. Salah satu hal yang mencuat dari Aceh yang tentunya sudah banyak diketahui masyarakat luas adalah konflik GAM. Aku melongo saat bang Udin bercerita bahwa sebagian besar penduduk yang mendiami desa Keudah, khususnya keluarga Mr.Jali, dahulunya adalah anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Selama dua belas tahun mereka menetap di hutan, dengan persenjataan canggih mereka meningkatkan kekuatan mereka dibawah pimpinan Mr.Jali, yang saat itu berkedudukan sebgai panglima GAM daerah Singkil. Kelompok GAM memiliki bagian-bagian sendiri, seperti organisasi umumnya. Ada Pendakwah, Wartawan, Pembimbing spiritual pasukan. Sebelum gencatan senjata dimulai, mereka tak henti mengucap shalawat serta doa, pasukan itu memang dibina mati sahid dalam peperangan.

Cerita-cerita itu cukup merileksasi pikiran kami di malam hari, setelah mengeluarkan tenaga besar dalam melakukan perjalan setiap harinya. Setiap pagi hari kami selalu disambut kehangatan mentari, lalu hujan disiang harinya. Perbedaan suhu itu membuat kondisi fisik menurun karena meriang dan flu. Setelah Blang Beke, panca indera kembali  dihibur dengan hamparan padang rumput yang luas nan indah. Jalanan yang kami tempuh berkelok, turun, naik, dan datar. Tumbuhan kantung semar ( Nepenthes) mulai banyak terlihat dengan berbagai macam warna dan ukuran. Kami mendokumentasikannya untuk inventarisasi. Kami banyak melewati padang rumput sekarang, melintasi punggungan sempit dengan jurang disamping kanan atau kiri kami. Semangat tim tetap terjaga ditengah tekanan hujan dan kabut yang terasa tajam menghujam pelupuk mata. Badan tak henti bergetar, capek dan kaku. Ucapan doa serta shalawat terus terucap didalam hati. Niat, keyakinan dan ketabahan yang membuat kaki saya bisa untuk terus melangkah. “Semua ini pasti berakhir, dan badai pasti berlalu”.

Kami berjumpa kembali dengan vegetasi hutan lumut sebelum menyebrangi sungai Alas, sungai Krueng Kruet satu dan dua. Kondisi tim sehat dan bagus dengan nafsu makan yang membuas. Setiap satu butir nasi atau remah biskuit yang jatuh, masih saja kami punguti. Hal ini disebabkan oleh cuaca yang semakin dingin, serta tuntutan fisik yang memerlukan kalori besar. Bibir kami menjadi kering dan pecah-pecah, perlahan-lahan berdarah karena terkelupas dengan sendirinya. Rasa syukur meluap ketika akhirnya kami sampai di camp Simpang Tanpa Nama. Pertigaan antara puncak Loser dan Puncak Tanpa Nama (3.443 mdpl). Sebagian besar orang mengenal puncak itu dengan Syamsuddin Mahmud, sebagai penghargaan kepada Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud yang pernah mendanai salah satu kegiatan ekspedisi. Tetapi hal tersebut masih menuai kontroversi, sebab pendapat sebagain orang, puncak tersebut baru afdolf diberi nama jika pendaki tersebut telah benar-benar menapakkan kakinya.

Kini puncak tinggal selangkah lagi, kami akan menuju puncak Loser (3.404 mdpl) terlebih dahulu, baru puncak terjauhnya, Leuser (3.119 mdpl). Kami berjalan lurus dari tempat kami mendirikan tenda. Medan yang kami lewati kali ini hampir seluruhnya padang rumput. Pemandangan bukit-bukit berwarna biru dan hijau menghiasi sisi kanan punggungan, dan Pukul 09.30 saya sudah menginjakkan kaki di puncak Loser. Duduk dan berucap penuh syukur sudah sampai dengan selamat. Dataran puncak loser tidak begitu luas, terdapat triangulasi yang dahulunya dibuat oleh bangsa Belanda. Disini kami juga mendapatkan signal, dan segera menghubungi Sekretariat Lawalata serta keluarga kami. Menjelang siang kami melanjutkan perjalanan ke Leuser.

Pemandangan puncak leuser sudah tertutup kembali oleh kabut, kami menuruni punggungan dan melintasi saddle menuju Leuser. Jalan yang kami lewati tidak begitu lebar, dengan jurang disebelah kan dan tebing-tebing dibawahnya. Jauh di depan pantai dan kota blang pidi sudah terlihat. Kami takjub akan kemegahan alam yang terlihat dan kebebasan raya yang saya rasakan dalam setiap tarikan nafas saya dalam perjalanan ke  Leuser ini, It’s long and surprised journey! Setelah melewati tanjakan, kami masih harus melipir kekiri dan menuruni tebing yang cukup terjal. Lalu bertemu padang rumput dan naik lagi, jalanan mengarah ke kanan Saat salah satu teman berteriak, “puncak woy! Puncak!”, adrenalin saya bertambah, langkah kaki semakin cepat. Dan hati saya luluh begitu sampai ke dataran sempit puncak Leuser, pantai dan kota blangpidi terlihat lebih jelas.

Puncak leuser agak sempit, lebarnya kurang dari satu meter. Semua tempat terlihat dari Leuser, pucuk angkasan nun jauh disana, puncak Loser, kota blangpidi dan meulaboh. Aku tidak bisa mengucapkan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku. Kepuasanku bukan terletak pada puncak Leuser, tetapi keberhasilan kami mengatasi segala macam kendala dari sembilan hari kebelakang.  Dan sekali lagi, untuk yang kesekian kalinya, perjalanan ini meyakinkan saya tentang kuasa tuhan, kekuatan doa dan mimpi. Bagiku, mendaki ke leuser kali ini bukan hanya sekedar mencapai puncak lalu turun lagi, tapi ini telah menjadi salah satu mimpi kecil ku, mimpi kami tim putri Leuser..
Bermimpilah para putri Indonesia!

1 komentar:

  1. Haiii salam kenal salam lestari...
    Baca catper nya baguuus, perjalanan yg sungguh luaaaar biasa. Bisa sampai puncak Leuser dan Loser dan pulang dg selamat. Total naik turun berapa hari? Trims sebelumnya :D Alia

    BalasHapus