Kamis, 24 Februari 2011

Bogor bukan lagi Buitenzorg

Kebun Raya Bogor bukanlah tempat wisata asing lagi di Indonesia, khususnya kota Bogor. Dibalik kesejukan dan ketenangan yang datang darinya, Kebun Raya Bogor yang menyimpan rekaman sejarah mengenai kota Bogor. Maskot kota Bogor ini merupakan salah satu penyumbang kesegaran udara yang membuat kota Bogor diberi julukan Buitenzorg oleh bangsa Belanda.

Mengetahui seluk beluk asal Bogor bukan hal yang mudah dicari di jaman seperti ini. Terkecuali Bapak Djainudin (71 tahun), yang berprofesi sebagai pemandu wisata senior di Kebun Raya Bogor, yang juga penduduk Bogor asli.  Djainuddin menceritakan sekilas tentang asal usul kota Bogor. Terdapat tiga teori yang mendasari penamaan kota Bogor. Teori pertama berasal dari penemuan patung sapi yang dalam bahasa arab adalah Al – Baqar. Karena penyebutan yang digunakan saat itu dalam bahasa Arab, lambat laun berubah menjadi Bogor. Namun teori itu tidak bertahan lama, sebab tidak terlihat kesinambungan antara bahasa arab dengan penduduk Bogor yang berdarah Sunda. Teori kedua mucul ketika banyak ditemukannya pohon Palem atau dalam bahasa latinnya adalah Arenga Sacarifera. Pada saat pembangunan kampung kala itu, pohon-pohon tersebut ditebang dan hanya menyisakan tunggul-tunggul pohonnya saja. Oleh warga setempat, tunggul-tunggul tersebut diberi naman “Bokor”. Intensitas penyebutan tunggul Bokor itu lebih mendominasi sehingga munculah penamaan kota Bogor berdasarkan pelafasan kata Bokor menjadi Bogor.

Degradasi kota Bogor terjadi lambat laun karena arus jaman. Di tahun 1988-an kota Bogor masih sepi dan tidak ada gedung-gedung. Jalanan dibuat dari “Gicok”, bebatuan yang ditanam dalam tanah membentuk jalan setapak. Sungainya pun masih jernih sehingga Djainuddin masih bisa mandi didalam sungai itu. Perkebunan karet terbentang dari daerah Cibubur sampai Cibinong. Pohon-pohon kenari pun masih menghiasi sepanjang jalan. Fungsi pohon besar sebagai pencegah polusi dan produsen udara segar dipangkas begitu saja oleh renovasi kota. “Bukankah ada peraturan pemerintah yang melarang pohon dengan diameter besar untuk dibumi hanguskan?? Saya hanya orang kecil, cuma bisa bicara dan menepakkan dada menyaksikan pemusnahan tersebut” ucap Djainuddin lirih.

Hal serupa dialami oleh sistem pengelolaan Kebun Raya Bogor. Dahulu kendaraan bermotor dilarang masuk untuk mencegah polusi udara, namun kini adalah kebalikannya. Kebun Raya tidak lagi sesegar dan senyaman dahulu. Waktu Djainuddin masih aktif bekerja di Kebun Raya Bogor, pegelola bekerja dengan lima konsep, yaitu Eksploration, Introduction, Conservation dan Recreation. Kebun Raya ikut serta dalam pembangunan spot-spot tanaman yang erat hubungannya dengan penelitian yang dilakukan oleh IPB maupun Institusi lain. Research yang dilakukan hanya sebatas Basic Science untuk upaya konservasi. Contohnya, tanaman kelapa sawit dari Afrika ditanam pada tahun 1848 pertama kali di Bogor. Tanaman itu menghasilkan minyak, minyak tersebut dijadikan bisnis dengan wilayah pendistribusiannya adalah Asia Tenggara. Empat puluh tahun sesudahnya pohon itu tumbang. Pada tahun 1970 terjadi modernisasi mekanisme, namun proses ini tidak dapat mengembalikan kesuksesan seperti tahun 1848.

Suasana kota Bogor yang dahulu sejuk dan segar sebelum semua perubahan sistem pengelolaan tata kota tersebut, membuat Bogor diberi nama “Buitenzorg” oleh orang Belanda. Hal ini menjadi teori ketiga mengenai asal usul Bogor. Kata Buitenzorg dalam bahasa inggris mengandung arti out of difficult. Penamaan itu berdasarkan gambaran nyata yang dirasakan ketika memasuki kota Bogor dahulu, semua penat seperti terlepas begitu saja dan menciptakan kesegaran serta kenyamanan bagi setiap orang yang menginjakkan kakinya di Bogor. Keadaan yang sangat dirindukan oleh Djainuddin dan mungkin bagi sebagian besar orang lainnya. Baginya, Bogor sekarang bukan lagi Buitenzorg yang bisa melepas rasa penat (out of difficult). Bogor telah menjelma perlahan-lahan menjadi kota berbeda yang tidak ia kenali lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar