Kamis, 24 Februari 2011

A bit Memory in Merbabu

            Aku tidak pernah berminat mendaki Merbabu, entah kenapa. Sebagian besar karena gunung itu sudah terlalu terkenal dan sering didaki orang. Keindahan alamnya sudah bisa kubayangkan, meskipun dengan sedikit sok tahu. Menjelang imlek kemarin, aku putuskan untuk mencoba mendakinya, dengan dua orang kawanku. Rasa penasaran dan semangat yang entah dari mana datangnya mendorongku untuk mengusulkan Merbabu sebagai gunung tujuan kami jalan-jalan. Meru dan babu, adalah dua kata yang memiliki arti Gunung dan Perempuan, yeah Merbabu adalah Gunung Perempuan dan Merapi Gunung Laki-Laki. Menurut legenda, penunggu gunung Merbabu adalah seorang perempuan dan penunggu gunung Merapi adalah Laki-laki. Aku tidak tahu legenda mengenai kedua gunung tersebut, namun ada sedikit rasa akrab yang memenuhi hatiku karena gunung Merbabu disimbolkan perempuan, sama sepertiku. Mudah-mudahan perjalanan kami ini lancar dan selamat, begitulah harapanku saat mulai mendaki. Kami mulai dari basecamp wekas, magelang, dan berencana turun di selo, boyolali. Tapi karena kami ingin sesegera mungkin menuju Jogja, jalur selo kami coret dari tujuan, karena jembatan di boyolali terputus akibat lahar dingin, itu bisa menghambat perjalanan kami ke Jogja nanti setelah turun dari Merbabu. Jadi kami akan turun kembali lewat jalur wekas.


          Tidak memerlukan waktu yang lama dan tenaga ekstra untuk melewati jalur wekas sampai pos 2, tempat kami mendirikan tenda. Dari desa jalanan sudah di konblok, tapi kami mengindari jalan tersebut karena konblok itu licin sekali karena lumut. Sudah tiga bulan aku tidak benar-benar naik gunung, walaupun sering berolahraga, tapi tak cukup menghilangkan rasa berat yang menggelendoti kakiku. Tapi aku masih lihai mengontrol ritme jalan dan nafas, santai saat tracking, namun jarang istirahat. Papan kawasan nasional terpampang di dekat pos yang didalamnya ada makam. Tapi tidak ada pengelolaan yang berbasis Taman Nasional disana. Sore itu cerah, cukup hangat hingga membuatku merasa seperti di sauna saat mendaki mengenakan jaket kesayanganku. Ditengah perjalanan saat kami istirahat, kami memilih jalur kanan, sepertinya jalur diklat, karena lebih panjang daripada jalur sebelah kiri, dan itu tidak sengaja, hanya karena Komeng - salah satu temanku yang ikut mendaki, tidak yakin dengan jalur sebelah kiri. "Takut bablas di kopeng," katanya, " jalur itu paling panjang dan tidak ada sumber mata airnya." Tidak terasa sampai juga di pos 2, ada pipa air yang bocor dan memancarkan air terus. Kami tidak perlu khawatir akan persediaan air.
          Puncak merbabu terlihat di depan mata, hijau muda dan lembut. Sebenarnya ada banyak puncakan di gunung ini, dan itulah mengapa ada sebutan untuk merbabu - gunung tujuh puncakan. Puncak yang terkenal adalah Kenteng Songo, Tringangulasi dan Syarif. Pos dua memiliki lapak yang luas dan memang disinilah tempat pendaki mendirikan tenda sebelum summit attack. Aku berjalan keujung punggungan di sebelah kanan tenda kami, ada sungai didalam lembah itu, airnya berasal  dari kawah. Didepanku terbentang punggungan panjang tak terputus sampai puncak Merbabu.  Berlawanan arah dari sungai, si kembar Sindoro Sumbing mengintip dibalik awan yang menutupi puncaknya. Aku hirup udara semampu paru-paruku, membiarkan rasa dingin menjalar diseluruh kulitku, melancarkan peredaran darahku. ketika kubuka mata, terlantun kata "cantik," seperti perempuan, dan Merbabu memang cantik. Nuansa lembut aku dapatkan selama summit attack keeesokan paginya.


            Ketika sampai di pertigaan jalur Kopeng, Salatiga dan Wekas,  aku merasa tidak menyesal telah memutuskan mendaki Merbabu. Kami bertiga, berjalan di sepanjang punggungan berbatu kapur, di sebelah kanan bukit hijau itu  memberikan rasa ceria dan didepannya kawah merbabu menjorok kebawah, tapi kami tidak kesana. Terus melintasi punggungan berbatu ini, disambut dengan puncakan-puncakan berumput hijau muda, warna kesukaanku. Kabut mulai turun saat kami berjalan, namun Tuhan  memberikan kami matahari-NYA begitu sampai di puncak Kenteng Songo. Aku baru tahu saat itu ketika melihat batu yang berbentuk cerukan-cerukan berisi air, seperti cobek di dapur, yang sering dipakai oleh Ibuku. Dulu jumlahnya ada sembilan ( songo ), tapi sekarang berkurang menjadi enam.  Aku merasa cukup senang bisa sampai di puncak dengan selamat dan cuaca yang mendukung, meskipun tak bisa melihat merapi yang tertutup awan tebal di seberang kenteng songo. Pemandangan di puncak syarif juga tak kalah menyenangkan, aku dapat melihat jalur punggungan naik turun yang tadi kami lewati untuk menuju Kenteng Songo. Pemandangan in mengingatkanku pada bivak III di gunung Leuser. Senang rasanya kenangan itu hidup lagi dan mengalir di rongga kepalaku. Setelah rasanya cukup mengisi kerinduanku pada panorama indah ini, aku segera turun dan kembali ke pos 2 untuk makan siang dan berkemas turun, melanjutkan liburanku di Jogja yang sudah menunggu kami...

3 komentar:

  1. Sangat unyu2 aja kisah perjalanannya. Dan penggunaan bahasa yang sangat mudah dicerna. Wah harus banyak belajar nih sama suhu pluntung.

    BalasHapus
  2. ya dong, menulis itu untuk pembaca, bukan diri sendiri.. Ya supaya pembaca mengerti dan gak kebingungan tohh... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. dasar kikiwisaka komentar ngak bermutu,tulisan my honey di bikin bahasa mesir kuno loe bisa baca otak loe aja dangkal....good your written....honey

      Hapus