Kamis, 10 Maret 2011

Menjamah Tower Karst Indonesia


Sengatan matahari siang itu di kota Makassar membakar kulit tanganku, namun tidak meyurutkan keingintahuanku akan pesona Karst di kawasan Bantimurung Bulusaraung. Setelah puas menjelajahi air terjun dan keluarga kupu-kupu Bantimurung, langkahku beralih ke kawasan Goa-Goa Purbakala di kabupaten Pangkep, Desa Belae. Diperlukan waktu satu jam untuk sampai ke Belae dari terminal Maros. Hawanya masih terasa panas kendatipun pegunungan karst menjulang tinggi di sebelah kiri dan kanan berselimutkan pepohonan hijau yang menutupi punggungannya. Sebutan Tower Karst memang pantas disandang oleh kawasan karst Bantimurung-Bulusaraung. Bebatuan gamping itu tegak berdiri menyerupai Tower, saling merangkai disepanjang kompleks Goa Purbakala, bentuknya mirip dengan Tower Karst di Halong Bay, Vietnam. Dalam tubuh pegunungan tersebut terdapat puluhan hingga ratusan lubang goa, namun yang dikenal dan sering dimasuki hanya beberapa. Saya menaiki Bentor, alat transportasi umum berupa motor yang dibentuk menjadi becak, saya memulai penelusuran goa pertama. Masyarakat lokal menyebutnya Leang; dalam artian bahasa Indonesia adalah lubang.      

Menyisir kearah kiri, melintasi jalan setapak pematang sawah penduduk desa, disitulah Leang Ponro mengumpat dibelakang batu-batu gamping. Goa ini kecil, didalamnya terdapat dua makam tua dari orang terdahulu yang bersembunyi dari tentara Belanda dan mati didalam Goa ini. Langit goa tidak luas, sehingga saya harus berjongkok untuk melihat makamnya lebih jelas. Didepan kuburan ini terjaga dua lilin kecil untuk penerangan. Masyarakat lokal percaya makam ini keramat, seringkali mereka menaruh sesajen di sekitar makam. Beralih ke goa lainnya, Leang Kajuara, Leang Kassi dan Leang Lompoa memperlihatkan cave painting atau lukisan goa berupa cap-cap tangan manusia jaman purbakala. Stalagtit dan stalagnit bergantungan dengan berbagai warna dan berkilau putih bak berlian. Ditepian  mulut goa, saya bisa merasakan terapi ikan kandea di riak sungai kecil yang mengalir. Rasanya geli namun menyenangkan.      

Keesokan harinya memasuki Leang yang paling cantik dari leang-leang yang sudah saya datangi sebelumnya. Kalibongaloa, itulah namanya, goa alam yang jarang terjamah. Saya climbing untuk melewati tebing setinggi lima sampai lima belas meter sebelum sampai ke mulut goanya. Tapi usaha itu terbayar oleh kekaguman saya akan keindahan ornamen bak batu pualam seputih susu didalam Kalibongaloa. Langit-langit goa ditopang oleh tiang berbatu putih menyerupai singgasana. Di pojok sebelah kanan, ornamen goa lainnya bentuknya bak air terjun susu yang membeku, dingin dialiri air dan berkilauan menggoda mataku. Satu hari tak akan cukup untuk mengenali Goa Kalibongaloa lebih dalam. Goa ini cocok bagi para penggiat penelusuran Goa, namun harus berbekal seperangkat peralatan pengamanan dan SRT (Single Rope Tehnique).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar