Kamis, 24 Februari 2011

Dibalik Senyuman dan Rayuan Perempuan itu...

             Istilah-istilah "Kupu-kupu malam", Geisha, PSK, Wanita panggilan, dan Natasha(sebutan bagi pkerja prostitusi di Eropa) mungkin sudah sering melewati kedua telinga kita khususnya jika kita mendengar berita ataupun melihat langsung wanita- wanita dengan sebutan diatas berada di jalan, bar-bar ataupun di rumah-rumah bordil. Dalam era sekarang ini gaya hidup bebas sangat erat dengan paradigma seks bebas. Kasus prostitusi terkadang menjadi hal yang tabu untuk dibahas secara mendalam, namun apakah ketabuan itu akan tetap ada apabila terkupas cerita sebenarnya dari awal mula perdagangan seks ini terjadi ? Bahwa telah terjadi penipuan dan penyiksaan fisik dan batin yang dialami oleh perempuan-perempuan tersebut. Ironinya lagi, penderitaan perempuan-perempuan ini dijadikan suatu sistem, sebuah siklus perdangan dengan jalur di negara-negara belahan dunia oleh pelaku perdangan yang keji, tak berkeprimanusiaan.

             Dalam tiga dasawarsa terakhir, dunia telah menyaksikan empat gelombang trafiking untuk eksploitasi seksual ini. Victor malarek dalam bukunya yang berjudul “NATASHA” menuliskan bahwa Gelombang pertama perempuan korban trafiking berasal dari Asia Tenggara pada tahun 1970-an dan sebagian besar terdiri atas perempuan Thailand dan Filifina. Gelombang kedua tiba di awal 1980-an dan terdiri atas perempuan Afrika, terutama Ghana dan Nigeria. Gelombang ketiga, dari Amerika Latin, menyusul tak lama kemudian perempuan-perempuan dari Kolombia, Brasil, dan Replubik Dominika. Jadi, dunia bukannya tidak tahu bahwa banyak perempuan yang ditipu, diculik, dijual dan diperkosa. Namun kegiatan kotor itu makin marak daripada sebelumnya saat munculnya gelombang keempat, trafiking terbaru berasal dari Eropa timur dan Tengah. Gelombang itu dinamai “the fourth wave” dan kecepatan perkembangan sungguh mengejutkan. Satu dasawarsa lalu perempuan Eropa Timur dan eks-Soviet belum kelihatan sama sekali, namun sekarang mereka lebih daripada 25 persen dari perdagangan perempuan. Seiring pembubarannya di tahun 1991, demokrasi melanda negeri-negeri adidaya yang dulu tergabung dalam Uni Soviet. Saat itu merupakan masa peralihan dan perubahan besar dimana relitas pun hadir. Hukum dan peraturan dikotori oleh korupsi, kerakusan dan penyuapan. Dengan segera, keadaan ekonomi negara-negara baru itu pun anjlok, kekacauan pun terjadi. Puluhan juta orang terlunta-lunta. Mereka dipaksa bertahan hidup semampu mereka. Tak butuh waktu lama hingga hilangnya kendali sosial, sehingga penjahat-penjahat bermunculan dan segera menemukan mangsanya yang baru : perempuan cantik, namun putus asa, berpendidikan, bertatakrama, namun tanpa masa depan. Mereka lah yang menjadi tumpuan disaat keluarga mereka terpuruk dalam ekonomi, ketika ayah mereka mencari pelarian dengan meminum alkohol karena stres, ibu mereka sakit-sakitan karena terpuruk kondisi keluarga yang jatuh drastis, adik-adik yang terancam putus sekolah. Lalu mereka mulai mencari pekerjan apapun asal bisa menyambung hidup mereka. Berbagai iklan yang dipasang di koran, internet, di dinding-dinding gedung menjajikan pekerjaan sebagai pengasuh anak, pembantu rumah tangga di Malaysia, pelayan di Singapura, buruh pabrik di Arab Saudi. Mata mereka berbinar, senyum sumringah pun terpancar, sebungkah harapan akan gaji besar hasil bekerja di luar negeri memenuhi otak mereka. Tak akan ada lagi ayah nya stress, Ibu nya sakit, adik-adiknya putus sekolah. Bagi mereka ini adalah kesempatan emas, dan tanpa banyak pertimbangan mereka langsung melamar pekerjaan-pekerjaan itu, dan mendapati diri mereka terjebak dalam lingkaran kenistaan, dan penderitaan di kemudian hari.
               Para calon-calon kupu-kupu malam, PSK, Natasha ini dikirim ke seluruh penjuru di dunia. Mereka dikumpulkan menjadi rombongan besar, dan diboyong ke tempat tinggal baru mereka, untuk mengisi rumah-rumah bordil di Korea Selatan, Bosnia, dan Jepang. Mereka meramaikan jalan-jalan daerah lampu merah di Austria, Italia, Belgia, Belanda. Mereka bekerja tanpa busana di panti pijat di Kanada dan Inggris. Mereka dikurung sebagai budak seks dalam apartemen kumuh di Uni Emirat Arab, Jerman, Israel, dan Yunani. Dalam make up tebal, pakaian seronok, sepatu hak tinggi, mereka berjalan berlenggak-lenggok untuk menarik perhatian para lelaki yang hidung belang. Mereka tersenyum, mengedip, berpose, merayu setiap lelaki agar mereka mendapat pelanggan setiap malamnya. Tiap hari, perempuan-perempuan ini dipaksa melayani sepuluh sampa tiga puluh laki-laki dalam semalam. Uang yang mereka dapat langsung diambil oleh “pemilik” mereka. Mereka hidup dalam kondisi yang menyedihkan, sering disiksa, diancam. Apabila melawan dihukum berat, dan bila menolak adakalanya dicederai atau bahkan sampai dibunuh. Jumlah korban trafiking atau perdagangan wanita sungguh mengejutkan. Contohya saja di AS, dalam laporan tahun 2003, Departemen Luar negeri menyatakan tak ada negara yang bebas dari trafiking dan memperkirakan kurang-lebih 800 ribu sampai 900 ribu orang diperdagangkan melintasi batas-batas negara di seantero dunia. Laporan itu juga menyatakan bahwa trafiking menyengsarakan perempuan dan anak-anak, membuat mereka mengalami pemerkosaan, siksaan, HIV/AIDS dan berbagai penyakit seks menular. Pasar perempuan internasional bukanlah hal baru, perempuan asia sudah bertahun-tahun jadi barang dagang utama. Banyak sekali laki-laki yang mengunjungi Bangkok, Manila, Indonesia untuk wisata seks. Kini kegiatan kotor itu kian merambah ke negara Eropa, publikasi permasalahannya besar, namun mengapa pemerintahan negara dan kita pun masih kecolongan atas masalah trafiking ini?

                       Kesadaran dan kepedulian masyarakat sangat diperlukan untuk mengatasi secara perlahan-lahan kasus trafiking ini. Mungkin dengan bertemu atau mendengar langsung kisahnya dari perempuan yang bersangkutan, adalah cara ampuh untuk membangkitkan kepedulian dan mendorong kepedulian kita. Marika, gadis rusia bertubuh jangkung dan berambut pirang mengalami penipuan dalam trafiking. Ibunya sakit dan ayahnya pemabuk. Dua adik perempuannya tak terurus. Tawaran pekerjaan sebagai pelayan restoran di Ukraina datang dan diterimanya. Marika dibawa oleh perekrut kerja itu, dia diterbangkan ke Mesir. Setelah melakukan perjalanan jauh melewati padang pasir, marika sampai di rumah terpencil dan dimasukkan ke kamar kosong. Mereka tidak ditawari makan atau mandi, tidur pun hanya beralaskan tanah. Pagi berikutnya perekrut kerja Marika datang dan menyuruhnya membuka baju agar dia bisa melihat Marika. Sungguh memalukan. Setelah itu Marika dipindahkan ke apartemen baru, disana dia bertemu dengan perempuan-perempuan lainnya yang "berstatus" sama. Seorang laki-laki besar bernama Avi menghampiri Marika dan perempuan lainnya, mereka disuruh mandi. Avi mengawasi mereka dan ketika mereka sedang mengeringkan badan Avi masuk dan menyuruh mereka memakai pakaian dalam murahan yang tembus pandang. Gadis-gadis itu digiring ke ruang utama dan mereka diberitahu bahwa mereka sudah dibeli oleh Avi. Mereka disuruh bekerja untuk Avi dengan cara melacurkan diri. Dan menjelang malam hari itu, untuk pertama kalinya Marika merasakan bagaimana menjadi pelacur. Kisah serupa dialami Sophia, gadis Serbia korban trafiking yang diculik sewaktu sedang berjalan dijalanan kampungnya. Dua laki-laki membawa pisau memaksanya masuk mobil. Sophia pikir ia akan diperkosa dan dibunuh, namun ternyata ia dibawa ke suatu penyebrangan sungai naik perahu lalu menuju sebuah kota di pegunungan. Setiba di bangunan tempat ia ditempatkan, Sophia bertemu banyak gadis lainnya. Mereka semua kelihatan ketakutan. Mereka dilarang saling berbicara. Laki-laki kejam dan jelek bolak-balik masuk dan menyeret para gadis ke kamar. Laki-laki itu memerkosa setiap gadis satu per satu di hadapan gadis lainnya sambil berteriak kepada mereka, menyuruh bergerak seperti ini atau itu…...pura-pura menikmati….mengerang…... sungguh memuakkan. Tiap gadis dianiaya secara fisik dan emosional. Mereka yang melawan dipukuli. Jika tak menurut, mereka dikunci dalam ruangan gelap berisi tikus dan tak diberi makan atau minuman selama tiga hari. Pernah satu gadis menolak untuk melakukan seks anal, dan malamya si mucikari membawa lima laki-laki. Mereka menindihnya dan masing-masing melakukan seks anal terhadapnya di hadapan Sophia dan gadis-gadis lainnya. Dia menjerit-jerit dan para gadis menangis. Ada gadis Ukraina yang juga melawan. Mucikari memaksanya melakukan berbagai hal dan dia menolak. Mereka memukuli dia, menyundut sekujur lengannya dengan rokok. Dia masih teguh pendirian. Para mucikari terus memaksanya, mereka menonjoknya, menyepaknya berkali-kali. Lalu gadis Ukraina itu roboh tak sadarkan diri. Dia tergeletak dan mucikari itu masih saja memerkosanya. Ketika mereka selesai, gadis itu tak bergerak lagi. Tak terlihat kekhawatiran di wajah mucikari itu. Mereka hanya menggotong si gadis keluar. Beberapa hari berikutnya teman dari gadis ukraina itu bertanya pada mucikari mengenai temannya. Si mucikari langsung manjambak rambutnya dan menyeretnya keluar ke hutan tak jauh dari bangunan tempat mereka. Gadis itu diberi sekop dan disuruh menggali kuburannya sendiri, gadis itu tercengang. Mucikari memberitahunya bahwa gundukan disampingnya itu adalah kuburan temannya dari Ukraina yang melawan kemarin. Begitulah akhir yang naas bagi perempuan korban traffiking. Siapa yang melawan diberi siksaan, dan siapa yang masih berpegang teguh untuk mempertahankan harga dirinya, maut adalah ganjaran untuk mereka.

Hitungan dasawarsa adalah waktu yang lama untuk berlangsungnya kegiatan trafiking. Sejumlah lembaga kemasyarakatan memang telah angkat bicara, korban-korban berhasil dipulangkan ke daerah asalnya. Namun tidak menyelamatkan mereka dari aniaya yang mereka dapat. Para aktifis-aktifis sosial bersura, membuka forum, menyerukan “STOP TRAFFICKING!”. Peneliti-peneliti cerdas pun menelaah sebab dan akibat trafiking. Tapi masalah trafiking tetap ada dan makin parah saja. Pemberantasan tindak kejahatan trafiking harus diserang dengan gencar dan habis-habisan. Kita perlu tindakan, bukan kata-kata dari para pejabat-pejabat negara diatas meja parlemen. Kita harus memburu mereka sang pelaku trafiking, mengusut sampai ke sumber-sumber nya lalu adili mereka atas kejahatan yang telah mereka perbuat Sungguh mengherankan di negara yang dikatakan sebagai “negara hukum”, menindak tegas pelaku trafiking masih tidak bisa, atau sedikitnya menjamin pertanggung jawaban si pelaku atas perbuatannya terhadap gadis yang merupakan anggota warga negaranya.

Lintas Tenggara Dataran Tinggi Gayo Lues, Leuser..

ada mawas.. itu di pohon itu”.. kami semua sontak bergegas menuju pohon yang ditunjuk, saya mendongak keatas mencari-cari orang utan itu. Benar saja, bulunya cokelat terang dan badannya termasuk kecil untuk ukuran standar orang utan. Anak orang utan tepatnya. Dia bergelayutan pelan dari tangkai ke tangkai nun jauh diatas pohon. Kami mesti mendongak untuk bisa melihatnya. Ini satu ciri khas pertama dari leuser yang aku lihat. Diam-diam aku membatin, apalagi gerangan yang akan kami temui saat di dalam hutan nanti? aku tambah bersemangat.

Rasanya seperti setengah sadar saja, saya sudah berada di Green Sinebuk, atau biasa disebut pondok Mr. Jali, the big boss dari guide-guide yang biasa mengantar pendaki ke Leuser. Di Green Sinebuk terdapat bungalow (rumah kayu) yang dibangun untuk tempat istirahat pendaki-pendaki sebelum mendaki ataupun sesudah mendaki Leuser. Tanaman-tanaman disusun di kiri dan kanan sampai membentuk jalan setapak berbatu. Suara deras sungai terdengar di sebelah kiri ku. Hulu sungai itu berada diatas gunung, namun bukan dari sungai Alas. Semuanya terbuat dari kayu, kecuali kamar mandi yang bersemen dan beratap asbes. Membelok ke kanan dari Green Sinebuk, tanjakan pertama dimulailah.

Pada hari pertama sampai dengan hari keempat, puncak Leuser masih menyimpan teka-teki yang misterius. Umumnya para pendaki baru sampai kesana pada hari kesembilan. Menjaga keadaan psikologis agar tetap stabil adalah hal yang penting dalam suatu pendakian. Medan yang kami lalui memang cukup berat pada hari pertama dan kedua. Camp pertama yang tim singgahi adalah Tobacco Hut, atau ladang tembakau milik penduduk sekitar, tempatnya luas dan berumput kering. Daun-daun tembakau yang sudah dipetiki, ditaruh didalam saung penyimpanannya. Setelah Tobacco Hut, tim mulai memasuki hutan belantara Gunung Leuser yang rapat dan lembab. Hujan nampaknya ingin bersahabat, ia setia menemani perjalanan sampai hari kedelapan, meskipun konsekuensinya beban terasa berat, selain karena muatan carrier kami masing-masing belum berkurang, kami harus hati-hati melewati tanjakan-tanjakan lebar dan licin, yang mengingatkanku pada jalur Bremi, di Gunung Argopuro.

Memasuki ketinggian 2384 mdpl pada hari ketiga, setelah melewati camp Bivak 1, Pucuk Angkasan, Kayu manis satu, dua dan tiga,  Sekeliling kami sudah berubah menjadi pepohonan lumut. Ini sudah masuk wilayah peralihan dari montana ke alpin, vegetasinya sudah lumut dan cantigi. Pemandangan disekeliling semua berlumut, terasa lembab dan dingin. Mungkin ini adalah salah satu indikator yang mencirikan bahwa hutan di pegunungan leuser ini masih virgin. Jalanannya pun sempit dan masih banyak kayu-kayu yang membuat kaki-kaki tersangkut. Hutan lumut semakin mendominasi, terutama begitu tim menuju camp Pepanji. Batang-batang pepohonan marak melintang, membuat kami harus berjongkok, membungkuk sampai merayap-rayap melewatinya. Tak jarang kaki-kaki ini tersandung dan kepala terbentur batang pohon yang pendek. Rasanya kesal bukan main, tapi tidak bisa menyalahkan batang pohon itu. Selama di perjalanan, pikiran ini terus melayang mengkhayalkan banyak hal. Mungkin inilah euforia yang dialami pendaki saat melewati hutan saja dalam waktu yang panjang. Pikiranku melalang buana kemana sesukaku. Tak terelakkan, ada rasa bangga pada diriku karena sampai pada hari ini tak sedikitpun rasa kesal, tak sabar, pesimis meracuniku.

Kami keluar dari hutan lumut pada hari kelima, menuju padang rumput yang terbuka. Tidak seperti kebanyakan padang rumput di gunung-gunung jawa, bebatuan disini berjenis kapur. Salah satu keunikan yang ada di padang rumput ini adalah terdapatnya tumpukan batu-batu kecil yang membentuk semacam gapura kecil. Batu-batu ini sengaja disusun oleh para guide, untuk memberi simbol dari banyaknya orang yang sudah pernah ke leuser. Selain budaya menyusun batu, bang udin memperkenalkan pada kerajinan tangan bernama “Simpai”, anyaman yang terbuat dari rotan, dibentuk menjadi gelang atau cincin. Kerajinan tangan ini juga salah satu ciri khas dalam budaya lokal masyarakat Gayo Lues, yang mendiami desa Keudah wilayah Taman Nasional Gunung Leuser.

Suku asli penduduk Aceh terbagi menjadi lima, yaitu Gayo Lues, Singkil, Aceh dan Segeli. Salah satu hal yang mencuat dari Aceh yang tentunya sudah banyak diketahui masyarakat luas adalah konflik GAM. Aku melongo saat bang Udin bercerita bahwa sebagian besar penduduk yang mendiami desa Keudah, khususnya keluarga Mr.Jali, dahulunya adalah anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Selama dua belas tahun mereka menetap di hutan, dengan persenjataan canggih mereka meningkatkan kekuatan mereka dibawah pimpinan Mr.Jali, yang saat itu berkedudukan sebgai panglima GAM daerah Singkil. Kelompok GAM memiliki bagian-bagian sendiri, seperti organisasi umumnya. Ada Pendakwah, Wartawan, Pembimbing spiritual pasukan. Sebelum gencatan senjata dimulai, mereka tak henti mengucap shalawat serta doa, pasukan itu memang dibina mati sahid dalam peperangan.

Cerita-cerita itu cukup merileksasi pikiran kami di malam hari, setelah mengeluarkan tenaga besar dalam melakukan perjalan setiap harinya. Setiap pagi hari kami selalu disambut kehangatan mentari, lalu hujan disiang harinya. Perbedaan suhu itu membuat kondisi fisik menurun karena meriang dan flu. Setelah Blang Beke, panca indera kembali  dihibur dengan hamparan padang rumput yang luas nan indah. Jalanan yang kami tempuh berkelok, turun, naik, dan datar. Tumbuhan kantung semar ( Nepenthes) mulai banyak terlihat dengan berbagai macam warna dan ukuran. Kami mendokumentasikannya untuk inventarisasi. Kami banyak melewati padang rumput sekarang, melintasi punggungan sempit dengan jurang disamping kanan atau kiri kami. Semangat tim tetap terjaga ditengah tekanan hujan dan kabut yang terasa tajam menghujam pelupuk mata. Badan tak henti bergetar, capek dan kaku. Ucapan doa serta shalawat terus terucap didalam hati. Niat, keyakinan dan ketabahan yang membuat kaki saya bisa untuk terus melangkah. “Semua ini pasti berakhir, dan badai pasti berlalu”.

Kami berjumpa kembali dengan vegetasi hutan lumut sebelum menyebrangi sungai Alas, sungai Krueng Kruet satu dan dua. Kondisi tim sehat dan bagus dengan nafsu makan yang membuas. Setiap satu butir nasi atau remah biskuit yang jatuh, masih saja kami punguti. Hal ini disebabkan oleh cuaca yang semakin dingin, serta tuntutan fisik yang memerlukan kalori besar. Bibir kami menjadi kering dan pecah-pecah, perlahan-lahan berdarah karena terkelupas dengan sendirinya. Rasa syukur meluap ketika akhirnya kami sampai di camp Simpang Tanpa Nama. Pertigaan antara puncak Loser dan Puncak Tanpa Nama (3.443 mdpl). Sebagian besar orang mengenal puncak itu dengan Syamsuddin Mahmud, sebagai penghargaan kepada Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud yang pernah mendanai salah satu kegiatan ekspedisi. Tetapi hal tersebut masih menuai kontroversi, sebab pendapat sebagain orang, puncak tersebut baru afdolf diberi nama jika pendaki tersebut telah benar-benar menapakkan kakinya.

Kini puncak tinggal selangkah lagi, kami akan menuju puncak Loser (3.404 mdpl) terlebih dahulu, baru puncak terjauhnya, Leuser (3.119 mdpl). Kami berjalan lurus dari tempat kami mendirikan tenda. Medan yang kami lewati kali ini hampir seluruhnya padang rumput. Pemandangan bukit-bukit berwarna biru dan hijau menghiasi sisi kanan punggungan, dan Pukul 09.30 saya sudah menginjakkan kaki di puncak Loser. Duduk dan berucap penuh syukur sudah sampai dengan selamat. Dataran puncak loser tidak begitu luas, terdapat triangulasi yang dahulunya dibuat oleh bangsa Belanda. Disini kami juga mendapatkan signal, dan segera menghubungi Sekretariat Lawalata serta keluarga kami. Menjelang siang kami melanjutkan perjalanan ke Leuser.

Pemandangan puncak leuser sudah tertutup kembali oleh kabut, kami menuruni punggungan dan melintasi saddle menuju Leuser. Jalan yang kami lewati tidak begitu lebar, dengan jurang disebelah kan dan tebing-tebing dibawahnya. Jauh di depan pantai dan kota blang pidi sudah terlihat. Kami takjub akan kemegahan alam yang terlihat dan kebebasan raya yang saya rasakan dalam setiap tarikan nafas saya dalam perjalanan ke  Leuser ini, It’s long and surprised journey! Setelah melewati tanjakan, kami masih harus melipir kekiri dan menuruni tebing yang cukup terjal. Lalu bertemu padang rumput dan naik lagi, jalanan mengarah ke kanan Saat salah satu teman berteriak, “puncak woy! Puncak!”, adrenalin saya bertambah, langkah kaki semakin cepat. Dan hati saya luluh begitu sampai ke dataran sempit puncak Leuser, pantai dan kota blangpidi terlihat lebih jelas.

Puncak leuser agak sempit, lebarnya kurang dari satu meter. Semua tempat terlihat dari Leuser, pucuk angkasan nun jauh disana, puncak Loser, kota blangpidi dan meulaboh. Aku tidak bisa mengucapkan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku. Kepuasanku bukan terletak pada puncak Leuser, tetapi keberhasilan kami mengatasi segala macam kendala dari sembilan hari kebelakang.  Dan sekali lagi, untuk yang kesekian kalinya, perjalanan ini meyakinkan saya tentang kuasa tuhan, kekuatan doa dan mimpi. Bagiku, mendaki ke leuser kali ini bukan hanya sekedar mencapai puncak lalu turun lagi, tapi ini telah menjadi salah satu mimpi kecil ku, mimpi kami tim putri Leuser..
Bermimpilah para putri Indonesia!

Bogor bukan lagi Buitenzorg

Kebun Raya Bogor bukanlah tempat wisata asing lagi di Indonesia, khususnya kota Bogor. Dibalik kesejukan dan ketenangan yang datang darinya, Kebun Raya Bogor yang menyimpan rekaman sejarah mengenai kota Bogor. Maskot kota Bogor ini merupakan salah satu penyumbang kesegaran udara yang membuat kota Bogor diberi julukan Buitenzorg oleh bangsa Belanda.

Mengetahui seluk beluk asal Bogor bukan hal yang mudah dicari di jaman seperti ini. Terkecuali Bapak Djainudin (71 tahun), yang berprofesi sebagai pemandu wisata senior di Kebun Raya Bogor, yang juga penduduk Bogor asli.  Djainuddin menceritakan sekilas tentang asal usul kota Bogor. Terdapat tiga teori yang mendasari penamaan kota Bogor. Teori pertama berasal dari penemuan patung sapi yang dalam bahasa arab adalah Al – Baqar. Karena penyebutan yang digunakan saat itu dalam bahasa Arab, lambat laun berubah menjadi Bogor. Namun teori itu tidak bertahan lama, sebab tidak terlihat kesinambungan antara bahasa arab dengan penduduk Bogor yang berdarah Sunda. Teori kedua mucul ketika banyak ditemukannya pohon Palem atau dalam bahasa latinnya adalah Arenga Sacarifera. Pada saat pembangunan kampung kala itu, pohon-pohon tersebut ditebang dan hanya menyisakan tunggul-tunggul pohonnya saja. Oleh warga setempat, tunggul-tunggul tersebut diberi naman “Bokor”. Intensitas penyebutan tunggul Bokor itu lebih mendominasi sehingga munculah penamaan kota Bogor berdasarkan pelafasan kata Bokor menjadi Bogor.

Degradasi kota Bogor terjadi lambat laun karena arus jaman. Di tahun 1988-an kota Bogor masih sepi dan tidak ada gedung-gedung. Jalanan dibuat dari “Gicok”, bebatuan yang ditanam dalam tanah membentuk jalan setapak. Sungainya pun masih jernih sehingga Djainuddin masih bisa mandi didalam sungai itu. Perkebunan karet terbentang dari daerah Cibubur sampai Cibinong. Pohon-pohon kenari pun masih menghiasi sepanjang jalan. Fungsi pohon besar sebagai pencegah polusi dan produsen udara segar dipangkas begitu saja oleh renovasi kota. “Bukankah ada peraturan pemerintah yang melarang pohon dengan diameter besar untuk dibumi hanguskan?? Saya hanya orang kecil, cuma bisa bicara dan menepakkan dada menyaksikan pemusnahan tersebut” ucap Djainuddin lirih.

Hal serupa dialami oleh sistem pengelolaan Kebun Raya Bogor. Dahulu kendaraan bermotor dilarang masuk untuk mencegah polusi udara, namun kini adalah kebalikannya. Kebun Raya tidak lagi sesegar dan senyaman dahulu. Waktu Djainuddin masih aktif bekerja di Kebun Raya Bogor, pegelola bekerja dengan lima konsep, yaitu Eksploration, Introduction, Conservation dan Recreation. Kebun Raya ikut serta dalam pembangunan spot-spot tanaman yang erat hubungannya dengan penelitian yang dilakukan oleh IPB maupun Institusi lain. Research yang dilakukan hanya sebatas Basic Science untuk upaya konservasi. Contohnya, tanaman kelapa sawit dari Afrika ditanam pada tahun 1848 pertama kali di Bogor. Tanaman itu menghasilkan minyak, minyak tersebut dijadikan bisnis dengan wilayah pendistribusiannya adalah Asia Tenggara. Empat puluh tahun sesudahnya pohon itu tumbang. Pada tahun 1970 terjadi modernisasi mekanisme, namun proses ini tidak dapat mengembalikan kesuksesan seperti tahun 1848.

Suasana kota Bogor yang dahulu sejuk dan segar sebelum semua perubahan sistem pengelolaan tata kota tersebut, membuat Bogor diberi nama “Buitenzorg” oleh orang Belanda. Hal ini menjadi teori ketiga mengenai asal usul Bogor. Kata Buitenzorg dalam bahasa inggris mengandung arti out of difficult. Penamaan itu berdasarkan gambaran nyata yang dirasakan ketika memasuki kota Bogor dahulu, semua penat seperti terlepas begitu saja dan menciptakan kesegaran serta kenyamanan bagi setiap orang yang menginjakkan kakinya di Bogor. Keadaan yang sangat dirindukan oleh Djainuddin dan mungkin bagi sebagian besar orang lainnya. Baginya, Bogor sekarang bukan lagi Buitenzorg yang bisa melepas rasa penat (out of difficult). Bogor telah menjelma perlahan-lahan menjadi kota berbeda yang tidak ia kenali lagi.

A bit Memory in Merbabu

            Aku tidak pernah berminat mendaki Merbabu, entah kenapa. Sebagian besar karena gunung itu sudah terlalu terkenal dan sering didaki orang. Keindahan alamnya sudah bisa kubayangkan, meskipun dengan sedikit sok tahu. Menjelang imlek kemarin, aku putuskan untuk mencoba mendakinya, dengan dua orang kawanku. Rasa penasaran dan semangat yang entah dari mana datangnya mendorongku untuk mengusulkan Merbabu sebagai gunung tujuan kami jalan-jalan. Meru dan babu, adalah dua kata yang memiliki arti Gunung dan Perempuan, yeah Merbabu adalah Gunung Perempuan dan Merapi Gunung Laki-Laki. Menurut legenda, penunggu gunung Merbabu adalah seorang perempuan dan penunggu gunung Merapi adalah Laki-laki. Aku tidak tahu legenda mengenai kedua gunung tersebut, namun ada sedikit rasa akrab yang memenuhi hatiku karena gunung Merbabu disimbolkan perempuan, sama sepertiku. Mudah-mudahan perjalanan kami ini lancar dan selamat, begitulah harapanku saat mulai mendaki. Kami mulai dari basecamp wekas, magelang, dan berencana turun di selo, boyolali. Tapi karena kami ingin sesegera mungkin menuju Jogja, jalur selo kami coret dari tujuan, karena jembatan di boyolali terputus akibat lahar dingin, itu bisa menghambat perjalanan kami ke Jogja nanti setelah turun dari Merbabu. Jadi kami akan turun kembali lewat jalur wekas.


          Tidak memerlukan waktu yang lama dan tenaga ekstra untuk melewati jalur wekas sampai pos 2, tempat kami mendirikan tenda. Dari desa jalanan sudah di konblok, tapi kami mengindari jalan tersebut karena konblok itu licin sekali karena lumut. Sudah tiga bulan aku tidak benar-benar naik gunung, walaupun sering berolahraga, tapi tak cukup menghilangkan rasa berat yang menggelendoti kakiku. Tapi aku masih lihai mengontrol ritme jalan dan nafas, santai saat tracking, namun jarang istirahat. Papan kawasan nasional terpampang di dekat pos yang didalamnya ada makam. Tapi tidak ada pengelolaan yang berbasis Taman Nasional disana. Sore itu cerah, cukup hangat hingga membuatku merasa seperti di sauna saat mendaki mengenakan jaket kesayanganku. Ditengah perjalanan saat kami istirahat, kami memilih jalur kanan, sepertinya jalur diklat, karena lebih panjang daripada jalur sebelah kiri, dan itu tidak sengaja, hanya karena Komeng - salah satu temanku yang ikut mendaki, tidak yakin dengan jalur sebelah kiri. "Takut bablas di kopeng," katanya, " jalur itu paling panjang dan tidak ada sumber mata airnya." Tidak terasa sampai juga di pos 2, ada pipa air yang bocor dan memancarkan air terus. Kami tidak perlu khawatir akan persediaan air.
          Puncak merbabu terlihat di depan mata, hijau muda dan lembut. Sebenarnya ada banyak puncakan di gunung ini, dan itulah mengapa ada sebutan untuk merbabu - gunung tujuh puncakan. Puncak yang terkenal adalah Kenteng Songo, Tringangulasi dan Syarif. Pos dua memiliki lapak yang luas dan memang disinilah tempat pendaki mendirikan tenda sebelum summit attack. Aku berjalan keujung punggungan di sebelah kanan tenda kami, ada sungai didalam lembah itu, airnya berasal  dari kawah. Didepanku terbentang punggungan panjang tak terputus sampai puncak Merbabu.  Berlawanan arah dari sungai, si kembar Sindoro Sumbing mengintip dibalik awan yang menutupi puncaknya. Aku hirup udara semampu paru-paruku, membiarkan rasa dingin menjalar diseluruh kulitku, melancarkan peredaran darahku. ketika kubuka mata, terlantun kata "cantik," seperti perempuan, dan Merbabu memang cantik. Nuansa lembut aku dapatkan selama summit attack keeesokan paginya.


            Ketika sampai di pertigaan jalur Kopeng, Salatiga dan Wekas,  aku merasa tidak menyesal telah memutuskan mendaki Merbabu. Kami bertiga, berjalan di sepanjang punggungan berbatu kapur, di sebelah kanan bukit hijau itu  memberikan rasa ceria dan didepannya kawah merbabu menjorok kebawah, tapi kami tidak kesana. Terus melintasi punggungan berbatu ini, disambut dengan puncakan-puncakan berumput hijau muda, warna kesukaanku. Kabut mulai turun saat kami berjalan, namun Tuhan  memberikan kami matahari-NYA begitu sampai di puncak Kenteng Songo. Aku baru tahu saat itu ketika melihat batu yang berbentuk cerukan-cerukan berisi air, seperti cobek di dapur, yang sering dipakai oleh Ibuku. Dulu jumlahnya ada sembilan ( songo ), tapi sekarang berkurang menjadi enam.  Aku merasa cukup senang bisa sampai di puncak dengan selamat dan cuaca yang mendukung, meskipun tak bisa melihat merapi yang tertutup awan tebal di seberang kenteng songo. Pemandangan di puncak syarif juga tak kalah menyenangkan, aku dapat melihat jalur punggungan naik turun yang tadi kami lewati untuk menuju Kenteng Songo. Pemandangan in mengingatkanku pada bivak III di gunung Leuser. Senang rasanya kenangan itu hidup lagi dan mengalir di rongga kepalaku. Setelah rasanya cukup mengisi kerinduanku pada panorama indah ini, aku segera turun dan kembali ke pos 2 untuk makan siang dan berkemas turun, melanjutkan liburanku di Jogja yang sudah menunggu kami...